MAKSUD HADIS: MAN 'AROFA NAFSAHU FAQOD 'AROFA ROBBAHU


Oleh: MA. Zuhurul Fuqohak



Lanjutan Ngaji Kitab Kimiyau as-Sa'adah_______


Ma’rifatun Nafsi
Riwayat yang disampaikan Imam al-Ghazali bahwa siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya, ini bukanlah hadis Nabi saw. Namun, ini adalah riwayat Isrâiliyyât.[1] An-Nawawi menyebut hadis itu lâ tsâbita (tidak valid). Ibnu Taimiyyah menyebutnya maudhû’ (palsu). Az-Zarkasyi meriwayatkan pendapat as-Sam’âni bahwa ucapan itu adalah kalâm Yahya bin Mu’adz ar-Razi, pakar sufistik.[2]
Ada tiga pendapat dalam ulasannya. Pertama, orang yang mengetahui (kelemahan) dirinya, tidak mampu, selalu salah, banyak dosa, membutuhkan Sang Maha, pelupa dan kekurangan lainnya, maka ia akan sadar betul akan kesempurnaan Tuhannya. Jadi, pendapat ini membalikkan sifat manusia dengan sifat Tuhan. Model ini yang biasa dilakukan wali sâlik (ingin jadi wali).
Kedua, orang yang mengetahui (kehebatan) dirinya, mampu bertanding, belajar cepat, menemukan sesuatu baru yang bermanfaat, dipuja-puji, dimuliakan orang lain dan ia berguna bagi sesama, maka ia akan sadar betul bahwa kehebatannya itu dari Sang Maha Sempurna. Jika ia saja kelihatan sempurna, maka ada Maha Sempurna yang membuatnya tampak perfect begitu. Jadi, pendapat ini melebihkan sifat Tuhan atas sifat manusia. Model ini yang dilakukan wali jadzab (diinginkan jadi wali).
Ketiga, orang yang mengetahui dirinya dengan tidak sempurna, kurang paham betul akan dirinya sendiri yang sangat dekat dengannya, maka bagaimana ia akan bisa memahami totalitas terhadap Tuhannya? Jadi, pendapat ini mengagungkan Tuhan dengan memotivasi agar kita tidak perlu bersusah payah ingin mengetahui hakikat Tuhan, karena hakikat diri kita sendiri saja masih susah payah. [3]



Ada pendapat lain yang lebih mendalam. Syekh Abu Thayyib berpendapat bahwa siapapun yang memahami betul bagaimana kondisi dirinya sendiri saat berinteraksi dengan sesama, maka ia akan paham betul bagaimana Tuhan berinteraksi dengannya. Saat kita tidak suka orang lain tidak beradab dengan kita, menggunjing, tidak ridha ketika diberi, curiga dan sifat jelek lainnya, maka ketahuilah bahwa Allah swt juga tidak suka sifat-sifat itu. [4]
Izzuddin bin Abdissalam lebih dalam lagi pendapatnya. Menurutnya, Allah swt menciptakan ruhaniah kita dengan lembut dariNya yang jika kita mendalaminya, maka itu bisa menunjukkan keesaan dan ketuhananNya. Maksudnya, sebagaimana tubuh kita diatur, dikehendaki dan digerakkan oleh ruh, maka kita juga harus sadar bahwa semesta ini juga di bawah kendali Allah swt. Sebagaimana jasad yang tersebar banyak jenis dan bagiannya itu diatur oleh ruh yang satu, tidak bisa dibayangkan bentuknya, sangat dekat sekali dan sudah ada sebelum jasad, maka begitulah semesta diatur oleh Sang Maha Esa. [5]
Lalu bagaimana cara ma’rifatun nafsi itu?
Apa faidah kita ma’rifatun nafsi?
Apa hubungan ma’rifatun nafsi dengan ma’rifatullah ?



[1] Ibnul Jauzi, Madarijus Salikin, vol. 1, hlm. 427.
[2] As-Suyûthi, al-Hâwi Li al-Fatâwi, vol. 2, hlm. 288.
[3] Ibnul Jauzi, Madarijus Salikin, vol. 1, hlm. 427.
[4] Abu Thayyib al-Makki, Qûtu al-Qulûb Fî Mu’âmalati al-Mahbûb, vol. 2, hlm. 68.
[5] As-Suyûthi, al-Hâwi Li al-Fatâwi, vol. 2, hlm. 288.